“Manusia berbahasa ibarat burung bersayap”, demikian kata George H. Lewis. Bahasa tak terlepas dari hakikat
keberadaan manusia karena itulah yang menjadi piranti komunikasi antar manusia.
Pada ungkapan di atas nampak bahwa manusia tanpa bahasa sama seperti burung
tanpa sayap, karena sayaplah yang mecirikan burung dan bahasalah yang
mencirikan manusia.
Noam Chomsky, bapak Linguistik dunia,
menyebutkan bahwa jika kita mempelajari bahasa maka pada hakikatnya kita sedang
mempelajari esensi manusia, yang menjadikan keunikan manusia itu sendiri.
Manusia dirancang untuk berjalan, tetapi tidak diajari agar bisa berjalan.
Demikian pula dalam berbahasa, tidak seorangpun bisa diajari bahasa karena
manusia diciptakan untuk berbahasa. Dalam artian bahwa pada kenyataannya
manusia akan berbahasa tanpa bisa dicegah agar dia tidak memperoleh bahasa.
Bahasa dikatakan menjadi keunikan yang mencirikan manusia dan membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Pernyataan ini tidak berarti bahwa hanya manusia yang memiliki piranti komunikasi. Binatang disebut tidak berbahasa tapi tetap bisa berkomunikasi. Ocehan burung kakatua yang bisa menyerupai ucapan manusia; perintah ‘duduk’ atau ‘kejar’ yang dipahami anjing; kemampuan monyet untuk memahami perintah ujaran manusia; nyanyian burung yang berirama; tempo bunyi yang didengungkan lebah; suara-suara yang dikeluarkan ikan paus; semua itu adalah contoh piranti komunikasi binatang. Piranti ini tidak serta merta disebut bahasa walaupun memang menyerupai bahasa.
Contoh piranti komunikasi di atas tidak
menyandang sebutan bahasa karena tidak memenuhi prasyarat bahasa seperti: unsur
pertukaran pesan dari pembicara pada pendengar dan sebaliknya; adanya
umpan-balik dari pembicara; kebermaknaan dan pembedaan unit-unit kosakata;
adanya proses transmisi kultural yang melatarbelakangi ujaran; munculnya
kreatifitas dan kemampuan pemolaan unit bahasa; pengendalian maksud bicara dan
peralihan giliran bicara, serta penggunaan ungkapan yang bukan bermakna
literal.
Ciri-ciri di atas dicetuskan pertama
kali oleh Charles Hockett (1963) yang kemudian melahirkan pro-kontra seputar
pengistilahan bahasa. Linguis lain menyebutkan bahwa keutamaan bahasa adalah
pada kebermaknaan dan fungsi komunikatifnya. Namun demikian kompleksitas
berbahasa kurang menjadi titik tekannya. Field kemudian mengkategorikan
ciri-ciri tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang meliputi saluran bahasa,
ciri-ciri semantis, pembelajaran, struktur, dan fungsi (Field, 2003:40).
Dari paparan di atas, nyatalah bahwa
hanya manusia yang layak disebut berbahasa mengingat kompleksnya kebahasaan itu
sendiri. Kembali pada pendapat Chomsky tadi, manusia sejak lahir akan
mempelajari bahasa dengan sendirinya, meski serumit apapun anak akan memperoleh
bahasa. Proses pemerolehan ini berlangsung secara alami, tidak dengan cara
menghapalkan kosakata, aturan-aturan gramatika, dan aplikasi secara sosial.
Kamus bahasa dalam otak anak tersusun secara otomatis tanpa teori, sedangkan kemampuan
gramatika anak terasah dari pemerolehan yang disimaknya.
Perihal pemerolehan bahasa dan seluk
beluknya menjadi tema kajian Psikolinguistik yang merupakan studi psikologi
bahasa yang mengulas proses mental yang terjadi pada penggunaan dan pemerolehan
bahasa. Studi ini terkait dengan disiplin ilmu lainnya, misalnya: linguistik,
yang mengkaji struktur dan perubahan bahasa; neurolinguistik, yang mempelajari
hubungan antara otak dan bahasa; serta sosiolinguistik, yang membahas tentang
hubungan antara bahasa dan perilaku sosial (Field, 2003:40).
Dalam pembahasan berikut ini akan
dikupas perkembangan bahasa pada anak yang kemudian mengarah pada paparan
tentang pemerolehan bahasa pertama dan kedua pada anak sebelum pada akhirnya
mengangkat tentang gangguan berbahasa.
Perkembangan Bahasa pada Anak dan Ragamnya
Perkembangan bahasa merupakan salah
satu mata rantai pertumbuhan anak selain perkembangan lain seperti perkembangan
motorik kasar, perkembangan pemecahan masalah visuo-motor yang merupakan
gabungan fungsi penglihatan dan motorik halus, serta perkembangan sosial.
Perkembangan bahasa sering menjadi
tolok ukur tingkat intelejensi anak meskipun pada hakikatnya perkembangan
seorang anak merupakan suatu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Artinya
seorang anak tidak dapat dikatakan cerdas jika dia hanya bisa memecahkan
masalah visuo-motor dan fasih berbahasa tanpa diimbangi kemampuan
bersosialisasi.
Setiap anak yang normal pertumbuhan
pikirannya akan belajar B1 atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam
hidupnya, dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Sesudah itu
pada masa pubertas (sekitar 12-14 tahun) hingga menginjak dewasa (sekitar 18-20
tahun), anak itu akan tetap belajar B1. Sesudah pubertas ketrampilan bahasa
anak tidak banyak kemajuannya, meskipun dalam beberapa hal, umpamanya dalam
kosakata, ia belajar B1 terus menerus selama hidupnya. Pemerolehan B1 kita
anggap bahasa yang utama bagi anak karena bahasa ini yang paling mantap
pengetahuan dan penggunaannya.
Ketika seorang anak sedang memperoeh
bahasa B1-nya, terjadi dua proses, yaitu proses kompetensi dan proses
performasi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi
adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari.
Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performasi yang
menyangkut proses pemaham dan proses memproduksi ujaran. Proses pemahaman
melibatkan kemampuan mempersepsi kalimat yang didengar. Sedangkan proses
memproduksi ujaran menjadi kemapuan linguistik selanjutnya.
Fungsi berbahasa merupakan fungsi yang
paling kompleks di antara seluruh faset perkembangan sebagaimana yang
dijabarkan di atas. Indikator perkembangan bahasa ini meliputi fungsi reseptif
–yaitu kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap
kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan suara dan akhirnya
kata-kata—dan fungsi ekspresif, yaitu Kemampuan anak mengutarakan keinginannya
dan pekirannya. Fungsi ekspresif ini dipengaruhi fungsi reseptif dan merupakan
kemampuan yang lebih kompleks mengingat anak memulai dengan komunikasi
preverbal, dilanjutkan komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan
pada akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (Pusponegoro,
1997:80). Tabel berikut meringkas tahapan perkembangan bicara pada anak yang
meliputi fungsi reseptif dan ekspresif dimulai sejak bayi baru lahir hingga
berumur 4 tahun.
Tabel.1
Tahap perkembangan
bicara pada anak
Fungsi reseptif
|
Fungsi ekspresif
|
||
Perkembangan
|
Usia
|
Perkembangan
|
Usia
|
Bereaksi
terhadap suara
|
lahir
|
Oooo-ooo
|
6
minggu
|
Tersenyum
sosial
|
5
minggu
|
Guu-guu
|
3
bulan
|
Orientasi
terhadap suara
|
4
bulan
|
A-guu,
a- guu
|
4
bulan
|
Menoleh pada suara bel
- Fase I
-
Fase II
-
Fase III
|
5
bulan
7
bulan
9
bulan
|
Mengoceh
|
4
– 6 bulan
|
Dadada
(menggumam)
|
6
bulan
|
||
Mengerti
perintah ‘tidak boleh’
|
8
bulan
|
Da-da tanpa arti
Ma-ma tanpa arti
|
8
bulan
|
Mengerti
perintah ditambah mimic
|
11
bulan
|
Dada
|
10
bulan
|
Mama,
kata pertama
|
11
bulan
|
||
Mengerti
perintah tanpa mimik
|
14
bulan
|
Kata
kedua dan ketiga
|
12
– 13 bulan
|
Menunjuk 5 bagian badan yang disebutkan
|
17
bulan
|
4
– 6 kata
|
15
bulan
|
7
– 10 kata
|
17
bulan
|
||
Kalimat
pendek 2 kata
|
21
bulan
|
||
50 kata, kalimat terdiri dari 2 kata
|
2
tahun
|
||
250 kata,
kalimar terdiri dari 3 kata
|
3
tahun
|
||
Kalimat terdiri dari 4-5 kata, bercerita
Menanyakan arti kata
Menghitung
sampai 20
|
4
tahun
|
Dengan mengacu pada tabel perkembangan
bicara di atas, maka anak dikatakan mengalami keterlambatan bicara atau
kesulitan berbahasa jika kemampuannya menyimpangan dari standar tersebut.
Keterlembatan bicara terjadi pada 3-15% anak, dan merupakan kelainan
perkembangan yang paling sering terjadi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1% anak
yang mengalami keterlambatan bicara tetap tidak dapat berbicara. 30% dari anak
dengan keterlambatan ringan akan sembuh -atau menjadi normal- dengan
sendirinya. Sisanya, 70% akan mengalami kesulitan berbahasa, kurang pandai,
atau mengalami kesulitan belajar lainnya.
Penyebab keterlambatan bicara dan
berbahasa secara umum sangat beragam, diantaranya: 1) retardasi mental yang
menyebabkan kurangnya kepandaian anak dibandingkan anak lain seusianya, 2)
gangguan pendengaran, 3) kelainan organ bicara, 4) mutisme selektif atau
ketidakmauan berbicara pada keadaan tertentu, 5) deprivasi atau kurangnya
stimuli dari lingkungan, 6) kekurangan gizi yang mengakibatkan kelainan saraf,
dan 7) autisme atau deviansi komunikasi baik dalam berbahasa maupun bertingkah
laku yang sedang tren dibicarakan saat ini (Sutardi, 1997:67).
Kajian tentang keterlambatan atau
gangguan bicara di beberapa literatur psikologi bahasa masih terbatas pada
kesulitan berbicara dalam tataran umum. Kesulitan berbicara yang megkerucut
pada kemampuan berbahasa dari tinjauan sitaksis dan pragmatis belum banyak
diangkat. Carrol (1986:30) menggolongkan gangguan bicara menjadi 4 (empat),
yaitu: 1) gangguan bicara pada anak dengan keterlambatan mental, 2) gangguan
bicara pada anak-anak penderita tunarungu, 3) gangguan bicara pada anak
penyandang autisma, dan 4) gangguan bicara pada anak yang mengalami cidera
otak.
Pemerolehan Bahasa Pertama pada Masa Awal
Pemerolehan bahasa pada anak yang baru
lahir berawal dari suara tangisnya yang menjadi bentuk respon terhadap stimuli
dari lingkungannya. Caranya merespon akan berkembang seiring kematangan
mentalnya. Selanjutnya anak akan terus menyimpan stimuli bahasa pada memorinya.
Pemerolehan bahasa pertama, atau yang
kerap disebut bahasa ibu, merupakan proses kreatif dimana aturan-aturan bahasa
dipelajari anak berdasarkan input yang diterimanya dari bentuk tersederhana
hingga bentuk yang paling kompleks.
Anak akan lebih cepat menguasai bahasa
jika ia memperoleh bahasa dalam masa emas atau periode ideal (critical age) yaitu usia 6-15
tahun. Pada teori lain diasumsikan bahwa usia kritis tersebut berkisar 0-6 tahun,
namun pada intinya batasan periode ideal yang dimaksud adalah prapubertas.
Menurut Lanneberg (dalam Subyakto, 1992) pada masa emas otak manusia masih
sangat elastis sehingga memungkinkan seorang anak memperoleh bahasa pertama
dengan mudah dan cepat. Adapun pada usia pubertas telah dicapai kematangan
kognitif pada saat selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi
verbal yang menjadi mantap di bagian otak sebelah kiri. Hal inilah yang disebut
lateralisasi. Masa kritislah yang bertanggung jawab atas lateralisasi yang
membuat proses pemerolehan bahasa secara alamiah akan berkurang hingga akhirnya
hilang sama sekali.
Efektifnya pemerolehan bahasa pada usia
tersebut telah diujikan dalam beberapa penelitian. Hipotesis bahwa periode usia
di atas disebut masa emas pemerolehan bahasa diperkuat oleh beberapa kasus
keterlambatan bicara pada orang dewasa yang memperoleh bahasa di atas usia 15
tahun. Sebut saja beberapa nama seperti Amila dan Kayla yang ditemukan di
belantara India pada tahun 1920; Genie yang terisolir dari kehidupan manusia
dan segala kontak sosial hingga tahun 1970; dan Victor yang ditemukan di hutan
Aveyson pada tahun 1978. Nama yang terakhir ini kisah hidupnya difilmkan dimana
diceritakan tentang betapa sulitnya mengembalikan anak pada kemampuan berbahasa
dan berkomunikasi secara sosial dengan seutuhnya. Keterlambatan pemerolehan
bahasa berakibat ketidakmampuan secara sepenuhnya penguasaan morfologis dan
sintaktika bahasa (Field, 2003:73).
Contoh kasus keterlambatan pemerolehan
bahasa terjadi pada Chelsea yang mulai memperoleh bahasa saat berusia 31 tahun.
Bermula dari kecerobohan diagnosis dokter yang menyebutkan bahwa Chelsea
mengalami keterlambatan mental, dia tidak pernah dilibatkan dalam kontak sosial
yang memungkinkan pemerolehan bahasanya. Setelah beranjak dewasa baru diketahui
bahwa Chelsea menderita tuli yang sebetulnya bisa diatasi dengan diajari bahasa
isyarat. Setelah dipasang alat bantu dengar, ternyata Chelsea bisa berbicara
dan menirukan ucapan orang lain. Waktu yang dibutuhkan Chelsea lebih lama
dibandingkan waktu pemerolehan bahasa anak pada masa emas. Hasil penelitian
lain menyebutkan bahwa anak yang diajarkan menggunakan bahasa isyarat pada usia
0-6 tahun lebih baik dalam pemahaman dan produksi kata daripada yang belajar
pada usia 12 tahun ke atas. Kesimpulannya, di atas masa emas otak manusia tidak
bisa secara maksimal memperoleh kemampuan sintaktik dan morfologis. Dus, adalah
benar bahwa ada ungkapan mengajari (bahasa, membaca, mengaji, dll.) anak kecil
adalah bagaikan menulis di atas batu dan mengajari orang tua bagaikan menulis
di atas air.
Kemampuan menggunakan bahasa dalam
proses pemerolehan bahasa secara sistimatis dan akurat memang tidak mudah.
Pernyataan ini diperkuat oleh studi Bellugi dan Klima (dalam Fromkin, 1999)
yang menunjukkan bahwa anak tunarungu yang tumbuh dan dibesarkan oleh orang tua
tunarungu dapat menguasai bahasa isyarat. Kemampuan memproduksi kata anak
tunarungu ternyata lebih cepat dibandingkan kemampuan memproduksi kata pada
anak normal. Tidak mudahnya pemerolehan kemampuan ini membuktikan bahwa pengendalian
otot larinks dan organ bicara pada anak normal lebih kompleks jika dibandingkan
dengan pengendalian otot tangan pada anak tunarungu.
Pada kasus di atas tidak bisa
diasumsikan bahwa bahasa isyarat lebih mudah dibandingkan bahasa lisan karena
keduanya memiliki kesamaan dalam hal universalitas linguistik, sistim
gramatika, memungkinkan terjadinya perkembangan dan perubahan kebahasaan, dan
tidak terlepas dari adanya faktor kesilapan berbahasa.
Pemerolehan Bahasa Kedua dan Kesulitannya
Pemerolehan bahasa selain penguasaan
bahasa ibu atau bahasa pertama disebut bahasa kedua, ketiga dan seterusnya.
Dalam masyarakat Jawa misalnya, bahasa Indonesia disebut sebagai bahasa kedua
jika anak dibesarkan dalam komunitas wicara bahasa Jawa.
Pemerolehan bahasa lebih baik jika
diawali sejak dini. Mc Laughin dan Genesee, pakar psikolinguistik, berpendapat
bahwa anak akan lebih cepat belajar bahasa tanpa kesukaran dibandingkan dengan
orang dewasa. Selain itu Eric H. Lennenberg, seorang pakar neurolinguistik,
juga menegaskan bahwa kondisi otak mendukung pendapat tersebut. Sebelum masa
pubertas, otak atau daya pikir anak lebih lentur dan plastis sehingga dapat
diajari bahasa apapun dengan lebih mudah. Daya penyerapan bahasa pada anak
berfungsi secara otomatis, cukup dengan self-exposure atau dilibatkan
dalam komunikasi partisipatif dalam bahasa target. Pasca pubertas kelenturan
ini akan berkurang dan pencapaiannya tidak maksimal (Field, 2003:84).
Secara umum ada dua pendapat mengenai
pemerolehan bahasa kedua. Pertama, anak sejak lahir sudah dibiasakan terekspos
dengan berbagai bahasa. Kedua, anak belajar bahasa kedua setelah bahasa ibu
dapat diucapkan dengan baik. Kedua pendapat ini sama baiknya, namun demikian
tetap memiliki kekurangan. Metode pertama dapat berakibat munculnya keterlambatan
berbicara karena otak anak bekerja keras memetakan bahasa apa yang digunakan
oleh orang yang mengajaknya berbicara. Namun hal ini tidak berlangsung lama,
saat anak makin besar kemampuan itu akan terasah dengan sendirinya. Metode
kedua mengakibatkan pelafalan bahasa kedua akan lebih buruk daripada anak
dengan metode pertama. Anak dalam metode pertama akan terbiasa dengan
pengucapan dan aksen yang lebih jelas. Sungguhpun begitu, kedua metode ini
dapat dipakai dengan catatan memperhatikan suasana pemerolehan bahasa yang
bersifat interaktif, motivatif dan atraktif.
Kesulitan pada pemerolehan bahasa kedua
masih terkait dengan teori masa emas seperti yang dijelaskan di atas. Secara
umum kita melihat bahwa kemudahan anak belajar bahasa makin lama makin
berkurang setelah umur 5-7 tahun, sampai menjadi agak sukar dan lambat setelah
pubertas sehingga orang jarang mencapai kefasihan fonologi bahasa kedua jika ia
mempelajarinya sesudah pubertas atau setelah berakhirnya masa emas. Namun
demikian, menurut Schovel dan Krashen kemampuan belajar bahasa kedua tidak
berkurang terlalu banyak meskipun proses laterlisasi telah usai
(Subyakto-Nababan, 1992:66)
Gangguan Berbahasa
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan
adalah bahwa gangguan berbahasa berdampak pada 2 (dua) hal. Pertama, Lambat dalam
pemerolehan bahasa – sebagai contoh, anak berusia lima tahun memiliki
kompetensi bahasa setara dengan anak usia dua tahun. Kedua, Menyimpang dari
bentuk baku pada anak yang memperoleh bahasa dengan urutan yang berbeda dari
kebanyakan anak, atau anak tersebut memiliki kemampuan yang sangat berbeda dari
penutur asli bahasanya sendiri.
Adapun jika ditinjau dari asalnya,
gangguan berbahasa dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) kelompok. Pertama, gangguan
berbahasa yang berkembang, artinya gangguan akibat kelainan yang dibawa sejak
lahir. Pada sebagian anak, terjadi kesulitan dalam pemerolehan bahasa akibat
kelainan tumbuh kembang. Kedua, gangguan berbahasa yang diperoleh, artinya gangguan akibat
operasi, stroke, kecelakaan atau penuaan.
Gangguan berbahasa dan berkomunikasi
dapat diakibatkan faktor medis dan faktor lingkungan. Faktor medis berimplikasi
pada gangguan berbicara, gangguan berbahasa dan gangguan berpikir. Contoh
faktor medis yaitu gangguan sebagai akibat cidera otak yang menyebabkan
kerusakan sistem syaraf, gangguan psikogenik, dan gangguan pada sistem
mekanisme organ wicara. Demikian pula halnya dengan kerusakan sistem saraf yang
menyebabkan terputusnya jaringan antara wilayah auditori dan produksi tutur
sehingga pesan ujaran tidak tersampaikan.
Permasalahan berbicara sebagaimana yang
dijelaskan di atas bersifat permanen yang menyebabkan ketidakmampuan berbahasa
secara baik dan benar. Adapun beberapa gangguan lain bersifat temporer sehingga
mengakibatkan kekurangmampuan berbahasa. Disebut kurang karena tidak mengacu
pada kata “tidak” melainkan “belum”. Misalnya pada penderita gagap yang
disebabkan pengaruh perasaan afektif sehingga pikiran dan ucapan tidak
bersambung dengan baik, kesukaran melafalkan kata-kata tertentu dan kurang
menguasai topik pembicaraan (Gleason dan Ratner, 1998:75).
Kekurangmampuan berbahasa sebagaimana
dijelaskan di atas pada hakikatnya dapat terjadi pada tiga tahapan rekonstruksi
ingatan kebahasaan yang membangun proses pemerolehan bahasa secara lengkap.
Tahapan pertama yaitu masukan. Pada saat seseorang mendengar atau membaca suatu
wacana ia membuat catatan mengenai isi atau pesan kebahasaan sekaligus membuat
interpretasi. Pada penderita gangguan neurologis tahap ini mempersulit proses
interpretasi sehingga menghalangi keberlangsungan proses selanjutnya. Tahapan
kedua yaitu penyimpanan. Para ahli membedakan dua konsep penyimpanan yaitu
penyimpanan jangka pendek dan jangka panjang. Penyimpanan jangka pendek berupa
kata-kata atau angka sejumlah maksimal 7 frase sehingga orang dapat mengingat 7
digit nomor telepon dalam jangka waktu pendek. Adapun penyimpanan jangka
panjang menyangkut pesan kalimat yang dapat dipelihara untuk jangka waktu lama
yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Yang terakhir yaitu
tahap hasil dimana terjadi kontras antara kedua jenis ingatan, artinya makin
lama seorang pendengar mendapat kesempatan mengingat suatu ujaran, makin
sedikit bentuk yang diingat, sebaliknya makin banyak makna yang diingat.
Baik ketidakmampuan maupun
kekurangmampuan berbahasa yang diartikan sebagai gangguan bicara permanen dan
temporer dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) jenis. Pertama, gangguan dalam
mengkondisikan ketidaksempurnaan organ. Kedua, gangguan
berkognisi. Ketiga, gangguan mengolah informasi linguistik.
Contoh kategori pertama di atas yaitu yang dialami tunarungu, tunanetra dan
penyandang gangguan mekanisme berbicara. Ketidaksempurnaan organ menyebabkan
pendidikan tunarungu diprioritaskan pada pengajaran bahasa isyarat. Dengan
menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa ibu, tunarungu kemudian memahami
bahasa lisan dan tulis sebagai bahasa kedua. Dewasa ini mengajarkan pemahaman
membaca gerak bibir lebih ditekankan. Namun demikian bagi penderita tunarungu
dengan kerusakan pendengaran yang sangat parah hanya dapat diajari dengan
bahasa isyarat.
Mengingat rumitnya fase belajar bahasa
anak tunarungu yang bertingkat dari bahasa isyarat dan membaca gerak bibir,
sebagai imbasnya dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar membaca dan
menulis. Oleh karenanya kemampuan baca tulis anak tunarungu lebih lambat
dibandingkan anak normal. Keterampilan komunikasi yang dicapai terbatas pada
komunikasi tatap muka atau face-to-face, dengan demikian tanpa teknologi
visual sulit dilakukan percakapan pertelepon.
Secara umum perkembangan bahasa pada
anak tunarungu ditentukan oleh 3 (tiga) faktor mendasar, yaitu: 1) tingkat
kerusakan pendengaran, 2) status pendengaran orang tua (apakah normal atau
tunarungu), dan 3) usia diperkenalkan pada sistem komunikasi tertentu serta
konsistensi latihan berkomunikasi (Carrol, 1986:65).
Pada penderita tunanetra beberapa
keraguan mengenai kemampuannya berbahasa kerap dilontarkan. Salah satu
pertanyaan yang sering muncul yaitu apakah kelainan visual mengakibatkan
keterlambatan dalam memperoleh bahasa? Hal ini mengingat kondisi anak yang
tidak terbantu dengan ekspresi wajah, bahasa tubuh atau pandangan pada obyek
disekitarnya. Riset membuktikan bahwa anak tunanetra ternyata memperoleh sistem
fonologi lebih lambat daripada anak normal. Anak tunanetra kadang-kadang
bingung dengan fonem yang mirip dalam pengucapan, misalnya /n/ dan /m/.
Kemampuan anak tunanetra sama dengan anak normal ketika mulai meracau dan
mengatakan kata-kata pertama. Namun demikian terdapat perbedaan pada isi
kosakata awal mereka. Anak tunanetra umumnya kurang memvariasikan kata kerja,
hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keterbatasan pengkategorian yang
berdampak pada keberagaman kosakatanya.
Ketidaksempurnaan organ wicara
menghambat kemampuan seseorang memproduksi ucapan (perkataan) yang sejatinya
terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta
kerongkongan, dan paru-paru. Hal ini disebut gangguan mekanisme berbicara.
Menurut Chaer (2002) berdasarkan mekanismenya, gangguan berbicara dapat terjadi
akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada
lidah (lingual), serta pada rongga mulut dan kerongkongan (resonental)
Pada kategori kedua, gangguan berbahasa terjadi karena adanya gangguan
berkognisi. Hal ini terjadi pada orang yang pikun (demensia), penderita sisofrenia
dan depresif. Pada penderita demensia, gangguan berpikir menyebabkan ekspresi
verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata-kata yang tepat. Kalimat
seringkali diulang-ulang, pembicaraan sering terputus karena arah pembicaraan
tidak teringat atau sering berpindah ke topik lain. Artikel ini menitikberatkan
pada kekurangmampuan berbahasa pada anak, sehingga gangguan akibat demensia
tidak dibahas secara detail.
Sisofrenik dan depresif mengalami hambatan dalam melakukan curah verbal
yang sesuai dengan konteks akibat gangguan berpikir. Curah verbal deprefis
umpamanya, dicoraki topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri
sendiri, kehilangan semangat bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati
kehidupan, malah cenderung berupaya mengakhirinya.
Contoh yang disebutkan di atas jarang ditemui pada anak-anak. Gangguan
berbahasa karena kognisi yang lebih umum ditemui yaitu pada penderita Down Syndrome dan Autisma. Pada
penderita Down Syndrome kemampuan intelektualnya sangat beragam dan salah jika kita menganggap
kemampuan berbahasa semua penderitanya sama. Menurut Kendler (Carrol, 1986:95)
tingkatannya terbagi atas: ringan (IQ 53-68), sedang (IQ 36-52), berat (IQ
20-35) dan parah (IQ di bawah 20). Dengan demikian kemampuan linguistiknya
mengacu pada kelainan kognitif yang dialaminya.
Kajian tentang Down Syndrome atau keterbelakangan mental menunjukkan adanya hubungan antara kelainan
kognitif dengan kegagalan memperoleh kompetensi linguistik sepenuhnya. Secara
umum perkembangan fonologisnya lambat. Hanya sedikit kosakata dapat dikuasai
dan ucapannya cenderung pendek dan telegrafis (tanpa imbuhan dan kata sambung, mirip
bahasa dalam telegram). Anak sindrom down juga bermasalah dengan pelafalan.
Dengan suaranya yang khas parau, intonasinya tergolong abnormal.Komunikasi
dengan menggunakan bahasa tubuh (gesture) lebih dipilih oleh anak dengan sindroma down berat dan
parah. Adapun kemampuan sintaksisnya dapat dicapai pada usia dewasa, meskipun
mereka lebih dapat menangkap kontruksi kalimat afirmatif daripada negasi.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa gangguan berbahasa, yang dialami
penderita sindroma down baik anak-anak maupun dewasa, hanya bersifat terlambat
(bukan bersifat kurang atau tidak mampu). Artinya dengan perkembangan yang
berlangsung lamban, proses pemerolehan bahasa yang dilaluinya mirip dengan
urutan normal meskipun pada sebagian penderita tidak dapat mencapai kompetensi
penuh sebagai mana pembicara dewasa normal. Hal ini tergantung tingkat parahnya
kelainan yang diderita.
Pada kasus Autisma terjadi kombinasi antara kelainan kognitif dan sosial.
Penyandang autisma bisa jadi membisu hingga usia lima tahun, atau hanya membeo
kata-kata orang dewasa yang didengarnmya. Hal ini mengindikasikan bahwa
penyandang autisma memiliki keterbatasan alam pikir, artinya mereka tidak mampu
memahami dunia dari sudut pandang orang lain. Segala aspek komunikasi sulit
dicapai penyandang autisma, kecuali aspek fonologis yang pada sebagian
penyandang tetap dapat dikuasai. Perkembangan ketrampilan bahasanya tidak saja
mengalami keterlambatan tetapi juga penyimpangan.
Secara fonologis, artikulasinya cukup jelas meskipun sering muncul beragam
kesalahan dalam penyebutan obyek. Misalnya substitusi atau menyebut dengan kata
lain, menghilangkan suku kata tertentu, asimilasi dengan kata lain, menambahkan
dengan suku kata yang salah. Intonasinya cenderung datar dan salah dalam
membuat penekanan ucapan. Kemampuan sintaksisnya sangat lamban karena sering
muncul kalimat peniruan atau echolalia, yaitu mengulang-ulang kalimat yang tidak
relevan dengan konteks. Kemampuan
memahami semantik juga lamban, misalnya membedakan antara “The
girl feeds the baby”
dengan “The baby feeds the girl”.
Pada kategori ketiga, anak dapat mengalami gangguan berbahasa secara
linguistik yaitu ketidakmampuan dalam pemerolehan dan pemrosesan informasi
linguistik. Misalnya masalah kefasihan yang terjadi pada anak yang gagap dan
latah atau pada penderita gangguan fisiologis yang menyangkut kesalahan formasi
dan pengolahan organ artikulasi (seperti mulut, lidah, langit-langit, pangkal
tenggorok dll.). Selain itu anak dapat menghadapi masalah baca tulis. Disini
perlu dibedakan antara disleksia dan disgrafia. Disleksia atau kesulitan
membaca kerap diikuti dengan disgrafia atau kesulitan menulis. Tingkat kelainan
dan gejalanya bervariasi antar individu. Sebagian penderita disleksia juga
mengalami keterbatasan fonologis misalnya tidak bisa menduga bagaimana
membedakan ejaan kata atau bukan kata. Penderita lain sekedar menghafal ejaan
kata dan tidak dapat mengingat ejaan kata-kata lain. Secara umum penderita
disleksia mengalami kesulitan pada area kognitif tertentu, termasuk membedakan
kiri/kanan, barat/timur; juga konsep waktu seperti hari, tanggal, bulan, tahun;
serta pengolahan secara matematis.
Penutup
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berkomunikasi ditunjang dari
proses pemerolehan kecakapan berbahasa. Kompleksitas bahasa menuntut akumulasi
pemerolehan yang juga berkesinambungan dari tataran tersederhana hingga yang
membutuhkan gabungan kemampuan berbahasa dan bersosialisasi. Mata rantai
pertumbuhan kemampuan berbahasa tidak seragam pada satu orang dengan orang
lainnya. Variasi inilah yang menghasilkan perbedaan pencapaian kemahiran
kognitif yang difasilitasi kompetensi dan performasi berbahasa. Mutlaknya
kebutuhan akan kemampuan berbahasa membuat tidak tepatnya sebutan
ketidakmampuan berbahasa –melainkan menyebutnya sebagai kekurangmampuan
berbahasa. Kekurangmampuan ini hanya bersifat gangguan atau keterlambatan
berbahasa yang melampaui masa emas pemerolehan bahasa.
0 komentar:
Post a Comment
komentar