Pikiran Adalah Hal Yang Mengerikan
A
|
ku melangkah cepat, seolah mengejar sesuatu yang sudah lama ku dambakan. Saat aku tepat di depannya, Beni. Ku layangkan tanganku ke wajahnya. Ya, ku tampar dia. Kupikir itu sebanding dengan apa yang telah ia lakukan pada ku.
”Maaf, bukankah semua urusan diantara kita bisa selesai dengan maaf?”Tanyaku sinis.
Aku lalu berbalik meninggalkannya, tanpa melihat ekspresi wajahnya. Yang ku tahu aku masih sangat kesal. Baru beberapa langkah aku meninggalkannya ia berkata dengan suara yang agak ditinggikan, mungkin agar aku dapat mendenganr dengan jelas.
“Pikiran adalah hal yang mengerikan,”serunya.
“Salahmu sendiri, kenapa muncul tiba-tiba di depanku sekarang,”ucapku dalam hati.
“Kau tahu”, gumamku pada diriku sendiri.”Ya, tentu saja kau tahu.”Ini pantas kulakukan padanya. Betapa tidak, 5 tahun lalu dia ikut orang tuanya pindah ke LA. Saat itu aku dan dia sudah pacaran selama 1 tahun. Kami berjanji untuk tetap saling berhubungan. Yah setidaknya kirim e-mail atau apalah.Tapi apa kenyataannya, tak satupun e-mail ku yang dibalas.
Ya pernah juga ku telfon ke rumahnya tapi kata ibunya dia jarang di rumah. Mungkin sibuk dengan urusan sekolahnya pikirku. Ibunya kemudian memberiku nomor HP-nya yang baru. Ku coba menghubungi tapi tak pernah ada jawaban. Hingga akhirnya aku menyerah. 3 tahun ini memang tak ada usahaku untuk menghubunginya,yang ada hanyalah usahaku untuk melupakannya. Lagi pula aku juga punya urusanku sendiri kan. Aku seorang mahasiswi semester 4 fakultas kedokteran di universitas favorit di kotaku. Tapi, jujur sampai sekarang aku masih belum bisa melupakannya. Ya, sampai sekarang aku masih belum punya pacar lagi. Begitulah adanya…
Hari ini setelah kejadian itu pikiranku kacau. Suasana hatiku tak baik dan emosiku meledak-ledak. Konyol memang, aku baru saja melempar gelas ke lantai yang air di dalamnya sudah habis kuminum. Hasilnya gelas itu pecah berantakan. Menyesal juga sih, masalahnya aku juga yang harus merapikan pecahan kaca itu agar tidak melukai kakiku nanti. Ya, siapa lagi yang akan terluka karena kaca itu kalau bukan aku sendiri. Toh aku tinggal di rumah kos ini sendiri.
Akhirnya kuputuskan menenangkan diri dengan wudhu dan membaca al-Qur’an. Lumayan hatiku jadi terasa sejuk. Tiba-tiba saja terlintas di pikiranku ucapan Beni tadi siang,” Pikiran adalah hal yang mengerikan”, maksudnya apa?
Pelajaran hari ini tak satupun yang masuk ke otakku. Pikiranku melayang pada” Pikiran adalah hal yang mengerikan”. Pasti ada maksud yang ingin disampaikannya.
Sepulang kuliah aku mampir ke toko buku”House of Books”, toko buku favoritku. Saat aku berkeliling di dalam situ kulihat Beni berdiri di depan rak buku dengan kategori kesehatan. Kuintip dia dari balik rak tempatku sekarang berdiri. Dia mungkin akan membeli beberapa buah buku.
“ Wah sejak kapan dia hobi baca bacaan berat begitu”,pikirku.
Dulu kami sama-sama hobi baca komik seri detektif atau petualangan. Aku berjalan ke kasir untuk membayar komik seri detektif terbaru yang kubeli. Aku cukup kenal kasirnya, kak Dian. Aku iseng menanyakan buku apa yang dibeli Beni tadi. Menurut kak Dian salah satunya berjudul” Healty Food for Sensitive Stomach”.
Untuk apa buku itu, memangnya lambungnya sensitif?.Setahuku dulu dia bisa makan apa saja tanpa harus pilah-pilih, tanpa harus khawatir akan menyebabkan dia sakit atau apa. Mungkin buku itu bukan untuknya mungkin itu untuk temannya. Entah kenapa aku jadi sangat khawatir.
Pikiran adalah hal yang mengerikan itu benar. Sekarang aku mulai berfikir yang aneh-aneh. Mungkin dia sakit sehingga harus memperhatikan makanan atau bukan dia mungkin ibu atau ayahnya. Atau mungkin itu hadiah untukku sebagai permintaan maaaf.(Wah GR-nya diriku!)
Tak tahan dengan rasa penasaran, aku berencana bertanya tentang buku itu pada Beni. Ya, hal kecil yang membuatku penasaran setengah mati. Hari ini aku tak ada kuliah maklum week end. Jadi aku berkunjung ke rumah Beni. Aku masih hafal jalannya.
Keadaan rumah itu masih sama seperti yang dulu. Itu menurutku, ah bukan kuralat, ada yang berbeda sepertinya pohon cheri di dekat kotak surat yang sudah berganti warna dari merah menjadi hitam itu tampak lebih tinggi. Tentu saja,sudah beberapa tahun berlalu. Aku mondar mandir seperti sebuah setrika di depan pohon cheri yang tidak sedang berbuah itu. Aku ragu sekaligus juga masih penasaran.
Tiba-tiba kudengar seseorang memanggilku. Kukira aku cukup kenal suara itu, ya itu suara tante Naomi, ibunya Beni. Sepertinya beliau baru pulang dari suatu tempat. Setelah turun dari mobil tante Naomi menyajakku masuk ke dalam rumah. Kami ngobrol panjang lebar. Sepertinya Beni tidak ada di rumah, kuberanikan diri,
“Sekarang Beni pergi ke mana bu?”Tanyaku.
Ya aku sudah terbiasa memanggil tante Naomi dengan sebutan Bu sejak aku dan Beni pacaran dulu sampai sekarang saat status kami tak jelas.
“Oh, dia sedang ke rumah sakit untuk medical check up”, jawab tante Naomi.
Tiba-tiba wajah tante Naomi berubah sedih, beliau mulai bercerita kalau selama di LA sebenarnya Beni sering bolak-balik rumah sakit dan beberapa kali menjalani operasi. Dia mengidap kanker lambung dan usus, sekarang hampir separo dari perutnya telah diangkat. Sekarang ia benar-benar harus mengontrol makanannya. Aku kaget,aku mengerti mengapa ia membeli buku itu. Aku menyesal, penyesalanku amat dalam sampai-sampai rasanya aku tenggelam di dalamnya.
Aku dengar suara mobil datang.
”Tuh dia datang”, seru tante Naomi
“Amy, kamu makan siang di sini ya “, pinta tante Naomi
Awalnya aku ingin menolak tapi kupikir aku dan Beni harus bicara. Jadi kuiakan.
Saat makan siang kulihat tante Naomi memang mengontrol apa yang Beni makan. Tak heran apa yang ia makan saat ini tak seperti apa yang ku makan, daging sapi bumbu pedas. Ya, aku suka pedas. Tentu saja dia tak mungkin lagi makan makanan seperti ini. Selama makan siang Beni hanya diam, mungkin marah padaku. Rasa pedas yang biasa kusuka kini tak bisa ku rasakan, hampa. Selesai makan siang kubantu tante Naomi membereskan meja makan.Di rumah itu memang tak ada pembantu, itu karena tante Naomi mengaku bisa mengerjakan semuanya sendiri.
Aku lupa dengan niatku untuk bicara dengan Beni. Saat aku akan pamit pulang Beni menarik tanganku
“Bisa kita bicara sebentar’’, bisiknya.
Aku hanya mengangguk. Kami lalu berjalan ke halaman belakang, kemudian duduk di kursi yang berada di depan kolam ikan koi milik om Dave,ayah Beni.
“Bagaimana kabarmu?”, tanyaku basa-basi.
“Seperti yang terlihat cukup baik, kamu?”
“Ya, kurang lebih sama”
Kemudian kami terdiam beberapa menit.
“Ibu sudah cerita?”, tanyanya.
“Apa?”
“Ya, semuanya”
“Sudah”, jawabku.” Inikah alasan mu tak menghubungiku selama ini? Kamu membuat ku merasa dicampakkan.”
‘Bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin membuatmu cemas.”
“Aku minta maaf soal kejadiaan di kampus tempo hari”, kataku berlinang air mata penyesalan. Bukan lagi kata maaf yang kuucapkan dengan nada sinis seperti tempo hari.
“Itu salahku karena muncul tiba-tiba di depanmu setelah menghilang selama 5 tahun. Lagi pula sepertinya aku pantas mendapatkannya,ya kan?”
“Bukan begitu”, bantahku
Mengapa dia bisa tahu apa yang aku pikirkan setelah menamparnya tempo hari?
“Santai, aku cuma becanda kok”
Darah naik ke kepalaku, mukaku merah.
“Tapi tempo hari kamu ke kampusku untuk apa?”, tanyaku.
“Oh, aku hanya ingin minta maaf dan mengajak mu ke rumah untuk menunjukkan sesuatu”,ungkapnya.
‘Apa?”jawabku spontan.
Dia tersenyum”Tunggu, ya”ucapnya.
Dia membawa sebuah kotak kardus yang cukup besar. Aku bertanya-tanya apa gerangan isinya. Dia membuka kotak itu dan menunjukkan apa yang ada di dalamnya.’Hei,itukan seri detektif favorit kita”,seruku.
Aku ingat saat ia pamit dulu aku pernah berkata”Saat kamu pulang nanti aku ingin lihat siapa diantara kita yang tidak pernah absen beli komik seri detektif”, candaku saat itu. Tak ku sangka dia masih ingat. Akhirnya aku berdamai dengan diriku, kekesalanku, dan cintaku. Aku masih menyayanginya begitupun dia, bisa ku lihat dari sorot matanya. Kami berdamai, bukan hatiku dan hatinyalah yang berdamai.
Yang ia katakan benar pikiran adalah hal yang mengerikan. Aku diracuni pikiranku sendiri,pikiran-pikiran buruk tentang dirinya selama ia jauh dariku. Pikiran bahwa ia mencampakkanku, hatinya melupakanku dan berusaha memutuskan hubungan denganku. Tarnyata semua itu salah. Menurutku ini minggu nano-nano manis, asem, asin, rame rasanya, (iklan , ha2)