mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang
akan menarik keluar yang terbaik dari mereka
berbagi senyum kecil dan pujian sederhana
mungkin saja mengalirkan ruh baru pada jiwa yang nyaris putus asa
atau membuat sekeping hati kembali percaya
bahwa dia berhak dan layak untuk berbuat baik
***
Lelaki itu menyipitkan mata diterjang terik. Kakinya tersaruk seok dalam sengatan pasir. Dia datang dari jauh memikul beban hati yang memayahkan. Perjalanannya melelahkan. Tapi biara yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak mendaki kini, tapi sekuncup harap telah bersemi di hati.
Di pintu biara, Rahib ahli ‘ibadah itu menyambutnya dengan wajah datar. Lisannya terus berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar dengan dua gelas logam di tangannya. Dia letakkan satu di hadapan si lelaki, dan gelas lain dia genggam dengan dua tangan. Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguar bersama asap.
“Rahib yang suci”, kata si lelaki. Dia berhenti sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”
Rahib itu tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu?”
Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh”, katanya, “Sebanyak sembilanpuluh sembilan jiwa.”
Hampir saja gelas di tangan sang Rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
“Mungkinkah dosaku diampuni?”, lanjut si lelaki sambil menatap harap-harap. Tangannya cemas menggariki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk menanti sabda.
Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tampak tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah sang Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurat. “Membunuh satu jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala kehidupan. Sembilanpuluh sembilan.. Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”
Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkata-kata, dan menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.
Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api.
Maka sekali lagi syaithan mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya telah memenggal si Rahib, membelahnya jadi dua. Dan dia disergap sesal yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sang Rahib yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia bergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus berlari.
Untuk beberapa waktu, dia bersembunyi. Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening.
Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini bukan rahib yang dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.
“Allah itu Maha Pengampun saudaraku”, ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan kebaikan-kebaikan, engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yang baru. Engkau harus berhijrah.”
Lelaki pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di perjalanan. Dan malaikat rahmatpun memenangkan perdebatannya dengan malaikat ‘adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah negeri pertaubatannya. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru sejengkal. Maka Allah memerintahkan agar dia dibawa ke surga.
***
Kebaikan itu hanya menyembul sedikit, mengintip di balik terbunuhnya seratus nyawa. Seorang rahib memang ahli ‘ibadah. Tetapi dia bukan ahli ilmu. Dia tak kuasa mengenali kebaikan yang yang tersembunyi. Begitulah kita hari-hari ini, banyak terpesona dan dengan mudah menyebut seseorang sebagai, “Ustadz!” Padahal boleh jadi dia bukan ahli ilmu. Dia bisa saja ‘Abid, ahli ‘ibadah. Atau juga Khathib, seorang yang fasih bicara. Atau bisa juga Katib, seorang yang pandai menulis. Atau sejauh-jauhnya Hafizh, orang yang pintar menghafal.
Adapun ‘ulama, adalah mereka yang benar-benar mengenal Allah dan takut kepadaNya.
Seperti ‘alim yang menuntun sang pembunuh untuk bertaubat. Dia lelaki jernih yang penuh prasangka baik. Jika si rahib lebih tertekan oleh kata “membunuh”, sang ahli ilmu lebih terkesan oleh kata “taubat”. Kebaikan itu memang belum wujud, tapi dia memperlakukan sang pembunuh dengan penuh cinta, mempercayai yang terbaik dalam dirinya, dan menjadikan lelaki itu mampu menyongsong jalan surga.
Itulah ‘ulama. Dalam dekapan ukhuwah kita belajar dari mereka untuk takut kepada Allah dan tak mudah-mudah memvonis pada sesama hamba. Dalam dekapan ukhuwah kita belajar untuk mengenali kebaikan yang mengintip, mempercayainya, dan memberinya kesempatan untuk tampil mengemuka.
Memiliki akhlaq keulamaan ini bukan tak mudah. Kita hanya perlu memiliki perasaan sewajarnya bahwa kita sendiri juga manusia. Kita juga bisa khilaf dan alpa. Tak ada manusia suci yang tak punya masa lalu, dan tak ada insan jahat yang tak punya masa depan. “Dia yang tak mampu memaafkan kesalahan orang lain”, demikian dikatakan oleh George Herbert, “Telah menghancurkan jembatan yang seharusnya dia lalui sendiri.”
Mempercayai yang terbaik dalam diri seseorang, akan mengeluarkan yang terbaik dari mereka. Dalam dekapan ukhuwah, mari kita percayai asas itu. Dan mari kita perlakukan saudara-saudara tercinta kita dengan asas yang sama. Johann Wolfgang von Goethe, pemikir Jerman yang sangat mengagumi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam itu punya ungkapan yang menarik. “Perlakukan seseorang sebagaimana dia tampak saat ini”, tulisnya dalam Faust, “Dan kau akan menjadikannya lebih buruk. Namun jika kau memperlakukannya seolah dia telah menggapai potensinya dan mewujudkan citanya, kau akan menjadikannya sebagaimana dia yang seharusnya.”
Sungguh, setiap orang ingin hidupnya berarti. Semua orang ingin merasa dirinya penting dan punya makna. Kitapun demikian. Sebab itulah, dalam dekapan ukhuwah, asas ini berlaku untuk setiap orang, bahkan mereka yang tidak mempertunjukkannya. Mungkin saja, mereka sedang menunggu rangsang kecil dari kita untuk menjadi seseorang yang hebat. Mari bukakan kesempatan itu dengan mempercayai adanya kebaikan yang tersembunyi.
Sikap merasa lebih dan merasa suci jelas adalah lawan dari akhlaq keulamaan yang takut kepada Allah itu. Mereka yang merasa lebih, sulit mengenali kebajikan yang mengintip. Mereka dirabunkan oleh asap angan-angannya sendiri untuk menjadi lebih, padahal masih dalam khayalan.
Yang menggelikan adalah ketidakmampuan mereka untuk menghargai kebajikan yang mengintip biasanya diiringi kebanggaan atas apa yang tak mereka punya, dan keinginan dipuji atas apa yang belum mereka lakukan. Jika disebut kebaikan kecil yang dilakukan seseorang, mereka selalu memaparkan kebaikan yang lebih besar. Bukan untuk menjadikannya ‘ibrah apalagi ‘amal diri, sebab dirinya sendiri selalu berlindung di balik ‘udzur “syaratnya belum terpenuhi”. Semua dilakukannya hanya untuk menenggelamkan kebaikan kecil itu dan membuatnya seakan tak bernilai.
Semua manusia adalah anak-anak Adam yang menjadi tempatnya salah dan lupa. Maka orang suci sejati bukan yang tak berdosa, melainkan mereka yang banyak beristighfar kepada Allah. Mereka sering disergap rasa bersalah dan berdosa. Lalu dengan istighfar itu mereka merasakan ketenteraman dalam naungan ampunanNya. Maka mereka tumbuh menjadi pemaaf, sebab mereka juga tumbuh dalam pemaafan Allah. “Adapun mereka yang kurang beristighfar”, begitu ditulis Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Madaarijus Salikin, “Pastilah hatinya keras dan merasa suci. Dan itu membuat mereka mudah sakit hati, sulit menghargai, dan tak mampu memaafkan.”
Tentu saja kita boleh menambahi keterangan Ibnul Qayyim ini: mereka yang tak mampu mengenali kebaikan yang mengintip, bisa berakhir tragis seperti sang rahib dalam kisah kita di awal tulisan.
Maka mari kita belajar untuk menghargai kebaikan yang mengintip, atau mentakjubi keshalihan yang kecil dan sederhana. Membiasakan hal ini sungguh akan menjadi sebuah latihan jiwa yang berharga. Sebab ada tertulis, “Mereka yang tak bisa menghargai yang kecil, takkan mampu menghormati yang besar. Dan mereka yang tak bisa berterimakasih pada manusia, takkan mampu mensyukuri Allah.”
Dec 29, 2010
Kebaikan yang Mengintip
4:22 PM
Heniarti Sri Agusta